Rabu, 11 Februari 2009

TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA

Dipublikasi pada Thursday, 30 August 2007 oleh hermana
Penulis : m_thoyib


Tahapan Penanganan Bencana. Berdarkan konsepsi pendekatan pekerjaan sosial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam penanganan bencana, yaitu: (1) tahap penanganan tanggap darurat, dan (2) tahap penanganan pasca bencana. Dalam penanganan tanggap darurat kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: (a) analisis kebutuhan para pengungsi (need assessment), (b) distribusi bantuan, (c) pendataan para pengungsi. Sedangkan tahap penanganan pasca bencana meliputi: (a) restorasi (pembersihan kondisi sehingga bisa berfungsi secara darurat), (b) rehabilitasi sosial bagi korban bencana yang mengalmi tekanan / stress yang ditujukan guna pengembalian fungsi sosial korban, (c) rehabilitasi fisik (yang fitasl), yaitu perbaikan sarana-sarana kehidupan seperti penyediaan pelayanan rumah, sarana air bersih yang, penyediaan sarana dapur umum / keluarga, dan lain-lain, (d) rekonstruksi, yaitu perbaikan secara total terhadap sarana-sarana atau fasilitas umum kehidupan masyarakat sehingga dapat berfungsi secara normal, seperti sekolah, pasar, jalan umum, rumah sakit, sarana penerangan, sarana komunikasi yang rusak, sehingga kehidupan masyarakat dapat berfungsi secara normal kemabali. Selanjutnya, Departemen Sosial perlu menjabarkan poin-poin di atas dalam langkah-langkah atau proses yang kongkrit sehingga mudah diikuti oleh para petugas yang menjalankan tugas dilapangan. Mungkin harus dirumuskan dalam pedoman-pedoman atau form-form praktis yang mudah diikuti sehingga para petugas tidak bingung.

Empat Prinsip Penanganan Bencana. Agar semua ini dapat bermanfaat tentu harus dikoordinasikan dengan baik, tidak bisa seenaknya. Ada 4 prinsip penanganan bencana (1) one commando, (2) one rule, (3) one team, (4) one goal. One commando, artinya harus satu koordinasi atau satu perintah didalam pengaturan dan pendistribusian bantuan kepada para korban bencana teramasuk pengaturan dan pemanfaatan tenaga-tenaga sukarelawan yang terlibat. One rule, artinya harus satu aturan yang disepakati bersama, misalnya bagaimana mekanisme penyaluran bantuan yang akan diberikan. One team, artinya bahwa semua lembaga / unit yang ada harus satu misi yaitu misi kemanusiaan atau misi pertolongan. One tim menuntut suatu kerjasama yang baik antar lembaga yang ada. Pertolongan kesehatan harus didukung dengan penyediaan tenda yang memadai, harus didukung dengan penyediaan air bersih, juga harus didukung dengan penyediaan sarana transportasi yang memadai, komunikasi yang lancar dan lain sebaginya.. One goal, artinya semua lembaga yang ada harus bekerja untuk satu tujuan yaitu pertolongan kemanusiaan. Karena itu, tidak ada perhitungan materi.
Pendataan para pengungsi. Peranan lain yang juga sangat strategis adalah pendataan para pengungsi. Saya melihat tidak ada satu lembaga pun yang melakukan tugas ini secara formal terintegrasi dengan struktur yang ada. Ada beberapa pendataan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu, namun sangat spesifik, kurang dapat digunakan oleh lembaga lain, seperti PU melakukan pendataan terhadap sarana fisik yang rusak, Korem melakukan pendataan terhadap jumlah KK dan harta benda yang hancur. Sedangkan pendataan terhadap para pengungsi dengan by name, by address belum ada. Data yang digunakan selama ini masih data perkiraan belaka belum data otentik. Memang beberapa kabupaten sudah melakukan pendataan menurut versi mereka, seperti Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya sedangkan kabupaten lainnya belum. Selama saya bertugas di Meulaboh salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah pendataan pengungsi dengan by name, dan by adress, hingga kami kembali masih dalam proses pendataan. Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemimpinan rombongan sehingga kegiatan ini terintegrasi dengan kegiatan Satkorlak walaupun belum secara formal, tetapi karena pendekatan individual, dan menjadi sumber data yang resmi dalam panitia Satkorlak, namun belum sepenuhnya berhasil. Saya melihat banyak kendala yang menyebabkan kurang terintegrasi pendataan tersebut adalah: seperti jumlah personil yang sangat terbatas, kurang didukung dengan dana yang cukup, fasilitas yang kurang tersedia, seperti komputer untuk mengolahnya, fotocpy form-form yang akan digunakan, sarana transportasi. Menurut pengamatan saya, pengintegrasian ini menjadi salah satu unsur yang penting di dalam keberhasilan pendataan ini. Pengintegrasian kegiatan pendataan ini dalam struktur yang ada dapat dilakukan dengan adanya pernyataan kesanggupan untuk melakukan ini secara tuntas, jadi tidak tanggung-tanggung. Dalam arti harus didukung oleh lembaga (Depsos) itu sendiri, termasuk anggaran yang diperlukan harus disediakan, personil yang terlatih harus disiapkan, pengolahnya, sarana untuk itu terutama komputer yang memadai sehingga hasilnya akurat, cepat, tepat, dan foto copy. Bayangan saya posisi ini kurang lebih sama dengan peranan lembaga Quick Count pada masa pemilu yang hasilnya sangat cepat dan akurat. Dengan peranan seperti ini, peranan Desos akan semakin eksis dan hasil kerjanya akan dimanfaatkan semua orang yang terlibat dalam bencana tersebut. Beberapa form yang kami susun dan digunakan dalam proses pendataan..
Perlengkapan Petugas. Salah satu tugas dan fungsi Departemen Sosial adalah memberikan pertolongan kepada orang yang bermasalah. Korban bencana merupakan salah satu kelompok yang dimaksud dalam kategori orang yang bermasalah. Dalam meberikan pertolongan kepada korban bencana, nampaknya sangat berbeda dengan pertolongan kepada kelompok-kelompok yang bermasalah lainnya, seperti: pelayanan anak terlantar dalam panti, lanjut usia dalam panti, dan lain-lain. Dalam pertolongan terhadap kelompok ini, tidak terlalu dituntut suatu peralatan petugas yang harus dipenuhi, pertolongan ini lebih menekankan pada kemampuan keterampilan individual para petugas daripada peralatan, bagaimana mempengaruhi klien. Dalam pertolongan korban bencana kita dihadapkan dengan berbagai tantangan yang mungkin terjadi di lapangan, seperti banjir, lumpur, hujan, bau busuk, panas, terik, penyularan penyakit, penyularan virus yang mematikan, kegelapan, dan lain-lain. Seseorang dapat bertugas dengan tenang bila yang bersangkutan terlindungi oleh berbagai ancaman yang disebutkan di atas. Janganlah hendaknya seorang petugas menjadi korban, karena ketidaksiapan dalam segi peralatan atau perlengkapan, yang menjadi taruhannya adalah nyawa, hidup mati. Seorang petugas harus yakin betul bahwa apa yang ada pada dirinya mampu melindungi dirinya dari segala ancaman yang mungkin muncul. Selain itu juga seorang petugas harus yakin betul bahwa peralatan yang dimilikinya mampu menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Adalah sangat lucu rasanya bila seorang petugas ditugasi untuk mengerjakan suatu pekerjaan tetapi peralatan yang diperlukan sama sekali tidak ada. Hasilnya menjadi tidak maksimal, tidak efektif, pemborosan dan hanya membuang-buang waktu saja. Kita memberikan penilaian bahwa orang tersebut tidak mampu, tidak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Akhirnya yang menjadi korban adalah orang yang bertugas, tidak saja hanya korban penilaian, tetapi juga korban fisik atau perasaan. Proses inilah yang terjadi pada rombongan saya pada saat diberangkatkan menuju Aceh pada tanggal 29 Desember 2004. Tidak dilengkapi dengan peralatan apapun, kecuali persiapan masing-masing. Akhirnya setibanya di Medan dan ada pengalihan akan ke Meulaboh (sedangkan di Meulaboh medannya sangat kritis), sehingga teman-teman (rombongan) ngotot dan menuntut para pimpinan untuk terlebih dahulu menyediakan perlengkapan minimal yang dapat melindungan tubuh dari segala macam ancaman dan memperlancar pelaksanaan tugas di lapangan. Sebelum itu dipenuhi, nampaknya teman-teman keberatan untuk berangkat menuju Meulaboh, karena diperkirakan kita akan menjadi korban di sana. Akhirnya perlengkapan tersebut dipenuhi. Departemen Sosial adalah suatu lembaga yang khusus dilahirkan untuk menanganani permasalahan-permasalahnyang berkaitan dengan bencana seperti ini. Namun, saya melihat bahwa kesiapan untuk itu belum ada. Pada hal kita melihat bahwa Departemen Sosial tidak satu atau dua kali lagi menangani bencana, mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan semenjak adanya Departemen Sosial, namun persiapan untuk itu belum. Saya melihat ke depan, demi kelancanran tugas-tugas Departemen Sosial dalam penanganan bencana, nampaknya Depsos perlu menyiapkan berbagai perlengkapan petugas sebagai stok yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk menangani berbagai bencana yang mungkin muncul. Dari pengalaman-pengalam di lapangan, peralatan yang diperlukan adalah: sepatu boot, pakaian tahan air atau mantel hujan, sarung tangan secukupnya, masker secukupnya, topi, kacamata, rangsel, alas tidur (gulung), senter kecil, gunting, pisau lipat,sarung penutup kepala, dan lain-lain. Seorang dokter yang menjadi anggota tim tetap dengan persediaan obat secukupnya. Makanan untuk jangka waktu tertentu. Saya sangat iri melihat petugas-petugas asing yang datang dari berbagai daerah sudah terlebih dauhulu dilengkapi dengan berbagai peralatan yang sesuai dengan bencana yang dihadapi, mulai dari sepatu hingga peralatan komunikasi yang harus dimiliki. Demikian juga dengan berbagai sarana dan prasaran yang dapat memperlancar tugas-tugas yang akan dilakukan, seperti tenda pleton, tenda regu, feltbad. genset dengan perlengkapnnya, sepedamotor gunung, alat komunikasi untuk dapat on air, pompa air dengan peralatannya, faximile (bila mungkin), komputer laptop 2 buah, printer, mobil minibus 1 unit, mobil pik up 1 unit, mobil truk 1 unit, meja lipat yang mobile, Helikopter 1 unit (jenis super Puma) dan lain-lain yang terkait, seperti kertas secukupnya. Nampaknya memiliki helikopter seperti terlalu berlebihan, namun saya melihat kenyataan di lapangan sangat butus sekali. Rombongan kami sempat tertahan di Polonia Medan, karena ketidaktersediaan sarana transportasi menuju Meulaboh. Sedangkan sarana transportasi yang dapat digunakan ke wilayah ini pada saat itu hanya Helikopter. Selain itu, Indonesia terdiri dari gugus kepulauan, sehingga diperlukan transportasi yang cepat dan praktis sehingga pertolongan dapat diberikan lebih awal.
Ekspose terhadap kegiatan yang dilakukan. Salah satu juga yang menjadi kelemahaman kita adalah terbatasnya ekspose (pemaparan) oleh media massa tentang apa yang sudah kita lakukan di lapangan, seperti bantuan yang sudah kita berikan dan kegiatan need assessment, pendataan dan pendistribusian bantuan yang dilakukan. Saya melihat tidak kalah banyaknya dan kualitas bantuan yang kita berikan dengan yang diberikan oleh lembaga lainnya, seperti tendan sampai 250 unit, genset 100 unit, beras hingga ribuan ton, bantuan bahan permakanan, selimut, alas tidur, dapur keluarga / dapur umum, dan lain-lain Saya melihat ini sangat perlu sekali dilakukan demi eksistensi Departemen Sosial di masa mendatang. Lembaga lain hanya sedikit yang diberikan tetapi karena mereka pintar mengemas sehingga eksposenya sampai ke mana-mana. Memang kita sangat terbatas dalam pemahaman ilmu pemasaran ini. Kita mengaggab bahwa alokasi dana ke arah ini dianggap sebagai pemborosan. Agar eksistensi Departemen Sosial semakin diakui oleh masyarakat di masa-masa mendatang, maka sudah selayaknya kita harus berdampingan dengan beberapa media massa yang sudah diakui oleh masyarakat. Sehingga apa yang kita lakukan mendapat pengakuan dari masyarakat. Saya melihat hal ini sebagai suatu yang logis untuk kita lakukan, karena tugas dan fungsi kita adalah memberikan bantuan dan pertolongan kepada warga yang bermasalah. Adalah sangat lucu, bahwa tugas kita untuk membantu orang yang bermasalah tetapi tidak kita tunjukkan kepada masyarakat. Sangat keliru sekali. Harapan saya di masa-masa mendatang kita dapat melakukan ini secara profesional demi eksistensi Departemen Sosial tersebut. Peranan Depsos sangat strategis. Saya melihat bahwa peranan Departemen Sosial sangat strategis dalam penanganan bencana tersebut. Dari kenyataan di lapangan yang saya lihat di Meulaboh, pada umumnya pemda setempat kurang profesional dalam penanganan bencana tersebut. Nampakanya ukuran-ukuran yang dijadikan patokan keberhasilan penanganan pengungsi adalah “bantuan yang didistribusikan”. Apakah bantuan sudah didistribusi kepada pengungsi dengan merata, atau apakah pengunngsi masih ada yang belum makan. Ukuran-ukuran seperti ini sangat fisik sekali, kurang mencerminakan kebutuhan manusia yang sungguhnya. Mungkin untuk masa tanggap darurat hal ini masih dapat diterima, tetapi untuk masa penanganan pasca bencana, konsepnya sudah lain. Saya melihat, bagaimana mengembalikan fungsi sosial para korban adalah menjadi peranan Depsos yang tidak bisa ditawar-tawar. Departemen Sosial menjadi terdepan dalam menjalankan tugas dan fungsi ini. Untuk dapat melaksanakan tugas seperti ini, sarana dan prasarana termasuk dana harus disiapkan, personil yang terampil juga harus disipakan, tidak bisa melihat perkembangan nanti atau melihat perkembangan di lapangan. Kita harus melihat konsep keberfungsian sosial tersebut yang jelas. Soal konsep itu berbeda dengan kenyataan di lapangan itu adalah persoalan baru. Tetapi kita mengembangan konsep itu berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, sehingga kebenaranya dan kehandalannya dapat diuji, yakin konsepnya tidak akan keliru. Ada 3 konsep keberfungsian sosial para pengungsi dalam rehabilitasi sosial dan fisik yang akan dilakukan, yaitu: (a) bagaimana para pengungsi mampu nantinya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari tanpa tergantung pada orang lain lagi (apa yang menjadi sumber pendapatan mereka nantinya, bagaimana pemberdayaan kepada mereka, dll.), (b) bagaimana para pengungsi mampu mengatasi masalah-masalah yang muncul sehingga masalah tidak berkepanjangan dan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas lainnya, misalnya: masalah pendidikan anak, masalah perumahan (relokasi), masalah-masalah anggota keluarga yang sudah tiada, suami yang sudah tiada, dll. (c) bagaimana para pengungsi dapat menjalanlkan peranannya dengan baik dalam keluarga, misalnya peranan mendidikan anak, peranan mencari nafka bagi seorang ayah atau bagi seorang ibu yang sudah janda, ketaatan dalam menjalankan ibadahnya, dan lain-lain. Saya melihat kekurang berhasilan dalam konsep relokasi yang dilakukan terhadap 36.000 KK pengungsi NAD. Relokasi baru dimulai, namun para pengungsi sudah banyak yang kurang setuju untuk dipindahkan, dengan berbagai alasan para pengungsi yang cukup rasional dan dapat diterima oleh akal. Di sinilai perlunya dilakukan need assessment yang menjadi salah satu tugas dan peranan kita yang sangat penting, yang tidak dilakukan oleh orang lain. Pemda melihat bahwa dengan memindahkan para pengungsi dengan menyediakan rumah kepada mereka, persoalan sudah selesai. Ternyata tidak demikian. Mungkin setelah tahapan tanggap darurat selesai beberapa hari yang lalu harus serta merta diikuti dengan need assessment yang dilakukan oleh Departemen Sosial bekerja sama dengan Dinas Sosial secara formal. Di sini perlu adanya pengakuan pemerintah daerah atau Bakorlak PBP/ Satkorlak PBP secara formal terhadap tugas yang akan dilakukan oeh Departemen Sosial. Perlu adanya keseragaman tugas (need assessment) di semua daerah atau posko penanganan bencana yang ada. Perlu diturunkan petugas yang cukup untuk semua daerah lokasi pengungsi dan didukung dengan dana yang cukup.
Gangguan Jiwa dan Peksos. Sebagai dampak dari gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di NAD, banyak orang yang terkena tsunami yang tergangu pikirannya, ada laki-laki, ada permpuan, ada orang dewasa dan ada juga anak-anak. Hal ini dapat dimaklumi, karena harta benda yang dimiliki oleh mereka sudah ludes semuanya yang mungkin hal itu sudah lama dikumpulkan atau dipersiapan dengan susah paya sebelumnya, tetapi tiba-tiba hilang begitu saja, tinggal hanya baju yang dipakainya saja, bahkan ada yang kita lihat di TV hanya handuk saja. Namun, ada yang lebih parah dari situ, selain harta benda yang dimiliki juga anggota keluarganya ada yang meninggal, ada yang tidak tahu beritanya sama sekali (hilang), ada yang sudah dipastikan telah meningggal tapi tidak dikenalinya lagi, ada yang anggota keluarganya katanya masih hidup tetapi setelah dilakukan upaya pencarian tidak ditemukan. Ada keluarga di mana suaminya sudah hilang atau meninggal, tinggal dia sendiri dengan anak-anaknya, pada hal dia tidak bekerja dan tinggal hanya seorang janda dan masih banyak persoalan-persoalan lainnya yang harus dihadapi. Tentu semua ini menjadi tekanan batin atau jiwa yang sangat luar biasa yang dapat mengakibatkan stres dan rasa trauma yang berlebihan. Sehingga tidak jarang kita lihat permasalahan-permasalahan seperti ini terjadi di daerah pengungsian di Meulaboh. Menurut data yang ada 10 % dari jumlah pengungsi yang ada mengalami stress (tekanan jiwa). Didasarkan pada permasalahan ini, maka diperlukan petugas-petugas yang berlatar belakang prosesi pekerjaan sosial untuk dapat melakukan rehabilitasi sosial terhadap kelompok-kelompok ini.
Relokasi. Relokasi akan dilakukan bagi + 35.000 KK. Namun demikian, relokasi harus diawali dengan need assessment terlebih dahulu, yang tugas ini seharusnya dilakukan oleh Departemen Sosial bekerja sama dengan Dinas Sosial setempat. Relokasi bukanlah sekedar hanya memindahkan para pengungsi dari penampungan sementara kepada penampungan baru yang sudah disediakan. Relokasi harus dikaitkan dengan keberfungian sosial orang yang direlokasi. Berbagai faktor yang perlu dipertimbangan dalam relokasi yang disediakan. Relokasi harus dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasanaan atau budaya mereka sehari-hari, pekerjaan atau aktivitas mereka sehari-hari, proses pemberdayaan yang akan diberikan nantinya, keamanan dalam relokasi yang disediakan, keterjangkauan relokasi yang disediakan, akses dari dan ke relokasi yang disediakan, keterdediaan sumber dalam relokasi yang baru, jangka waktu penyesuaian terhadap relokasi yang baru, kemauan dan motivasi orang yang direlokasi. Bila ini sudah dilakukan dengan baik dan tuntas, maka perlu dilakukan sosialisasi relokasi. Perlu dibuat perhitungan apa keuntungan dan kerugian bila relokasi dilakukan. Bila kerugian lebih besar dari dari keuntungan tentu mereka tidak mau direlokasi, tetapi bila keuntungan lebih besar dari kerugian saya yakin mereka tidak akan menolak. Bila masih sama keuntungan dan kerugian, mungkin mereka berpikir buat apa relokasi?. Selain relokasi mungkin ada alternatif-alternatif yang bisa lebih menguntungkan kepada mereka yang harus dipilih. Ini perlu digali bersama-sama dengan mereka, seperti pemberian biaya kompensasi terhadap harta benda yang dimiliki. Siapa tahu mereka memilih sebidang tanah di tempat yang aman yang bisa dimanfaatkan, kenapa tidak diberikan biaya kompensasi saja, sehingga mereka senang. Bila memang tidak ada lagi alternatif, berarti harus relokasi, tidak ada pilihan. Bila mereka sudah tidak keberatan, langkah selanjutnya adalah proses pemindahan mereka ke relokasi yang baru. Dalam proses pemindahan ini juga harus transparan, karena ada lokasi yang strategis dan ada lokasi yang kurang strategis, ada yang dekat dengan sumber, ada yang jauh dari sumber. Perlu dicarikan mekanisme yang tepat yang sesuai dengan kemauan mereka. Setelah itu, adalah tahap pemberdayaan mereka. Menurut hemat saya, sekalipun itu relokasi sementara namun tetapi mereka harus diberdayaan sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia di daerah tersebut yang diikuti dengan pembinaan-pembinaan yang berkesinambungan secara rutin. Saya melihat penggunaan dapur umum untuk relokasi tertentu kurang mendidik, kurang dinamis, sekalipun rasa kebersamaan dan kegotongroyongannya tinggi. Saya memilih penggunaan dapur keluarga yang lebih ideal dan lebih baik, lebih praktis. Alasannya, dengan dapur keluarga mereka menjadi lebih dinamis, aktif masing-masing keluarga, mereka dapat menambung dari sisa bantuan permakanan yang diberikan, mereka dapat memasak apa yang dia inginkan, mereka dapat lebih kreatif. Pemberian biaya kompensasi kepada para pengungsi yang tinggal dalam keluarga menurut hemat saya adalah sesuatu yang tepat. Namun besarnya yang menurut informasi (Alwi Shihap, Radi El Shinta, 5/2/2005) sebesar Rp 150.000,- per orang per bulan perlu dilakukan perhitungan dulu menurut kondisi lingkungan setempat. Bila dilihat dari kenyataan pasar sekarang, nampaknya biaya kompensasi ini kurang relevan, tetapi bila kemampuan pemerintah demikian patut disyukuri. Selain pemberian biaya kompensasi ini, saya melihat pemerintah juga harus memberdayaan kelompok ini sesegera mungkin, sehingga tidak menjadi beban yang berkepanjangan di masa-masa mendatang.
Posko khusus untuk orang hilang. Selama bertugas di Posko Depsos yang ada di Meulaboh banyak sekali orang yang mencari anggota keluarga yang hilang. Tidak satu dua orang tetapi cukup banyak orang yang mencari keluarganya. Gejala seperti ini tidak hanya ditemukan di Posko Meulaboh tetapi di beberapa lokasi pengusian lainnya. Secara tidak segaja saya pergi jalan-jalan ke GOR Kotamadya Binjai yang menjadi salah satu lokasi tempat pengungsi di Sumatera Utara, banyak orang yang datang mencari keluarganya yang masih hilang. Katanya, dia sudah banyak lokasi pengungsi yang dia kunjungi untuk mencari anggota keluarganya yang hilang, tetapi belum ketemu. Demikian juga seperti yang kita lihat di beberapa media TV, banyak sekali orang yang dipertemukan di antara anggota keluarga yang hilang. Karena itu, menurut hemat saya, sangat bijaksana sekali bila Departemen Sosial membuka Posko khusus untuk orang hilang di wilayah-wilayah tertentu, termasuk didalamnya posku untuk anak yatim piatu yang kehilangan keluarganya. Karena posko seperti ini akan efektif untuk mempertemukan keluarga yang anggota keluarganya hilang. Semua orang yang merasa anggota keluarga hilang dapat berkumpul ditempat ini. Dengan demikian akan mudah dan cepat bertemu sesama anggota keluarga yang merasa kehilangan. Menurut saya ini adalah salah satu bentuk pelayanan yang nyata yang bisa diberikan oleh Departemen Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar